Menjadi pemegang kartu asuransi kesehatan yang dikeluarkan oleh PT. ASKES (Persero) merupakan keberkahan tersendiri buat saya apalagi disaat-saat akhir bulan serta akhir tahun saat ini. Ceritanya begini : kemarin atau tepatnya tanggal 27 Desember 2011, si gigi geraham belakang kiri yang paling atas mulai menunjukkan tanda-tanda yang paling kritis bahwa dia sudah segan untuk terus menetap dirongga mulut saya. Sedangkan si geraham kanan bawah udah mulai berlubang kecil. Pelan tapi pasti rasa sakitpun menjalari gusi lewat penampakan lubang yang sudah luar biasa lebar, besar dan dalam.
Nah, tahu sendirikan gimana rasanya sakit gigi saudara-saudara?. Anda-anda semua yang hadir disini pasti langsung tidak setuju pada bait lagu dangdut yang begini "lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati..." Sangat tidak masuk akal bukan? Sakit gigi adalah rasa sakit paling sakiiit!.
Anyway, busway...
Biasanya kalau udah urusan gigi geligi, saya menyerahkannya pada dokter di klinik gigi kepercayaan saya. Selain dokternya ramah, tidak sombong dan rajin menabung, penanganannya juga tidak begitu menyakitkan. Sangat jarang sekali saya berteriak histeris di kursi eksekusi gigi yang menyeramkan itu.
Well...
Berhubung saat itu lagi akhir bulan, kondisi keuangan dompet benar-benar mengkhawatirkan buat saya untuk urusan medis yang satu ini. Tahu sendirilah, biasanya biayanya berkisar tiga ratus ribuan keatas. Akhirnya saya memutuskan untuk memakai kartu ASKES berwarna kuning dengan barcode untuk mengatasi masalah tersebut.
Segera saja paginya tepat jam sembilan pagi saya sudah ngantri di loket pendaftaran pasien PUSKESMAS Kota Rantauprapat. Pelayanannya cepat dan petugasnya selain cantik juga ramah. Wah... gambaran saya tentang PUSKESMAS yang tidak tanggap segera musnah seketika! Saya diminta meyerahkan kartu ASKES kemudian ditanyai beberapa data untuk mereka tulis di lembaran medical record. Tak sampai lima menit urusan di loket selesai. Saya kemudian diarahkan ke ruang periksa gigi.
Sampai disini saya harus duduk manis menunggu. Bukan... Bukan ngantri. Tapi karena dokternya belum datang!.
Tepat jam 10, ibu dokter cantik memakai kerudung putih datang. Hati senang walaupun tak punya uang... Lho?
Si ibu dokter yang satu ini baik sekali. Gigi saya diperiksa dengan teliti dan diperlakukan dengan baik sekali. Semua pertanyaan saya juga dijawab dengan tuntas... tas... tas... Pokoknya pagi itu di PUSKESMAS Kota Rantauprapat saya benar-benar merasakan jadi bangsa Indonesia sekali. Ramah tamah serta baik pelayanannya. Menurut pendapat pribadi saya, PUSKESMAS ini layak dapat BINTANG!.
Tapi...
Ada satu hal yang membuat kenyamanan yang saya dapatkan harus segera berakhir. Bu dokter bilang, peralatan disitu kurang lengkap untuk urusan mencabut gigi saya yang tingkat kerumitannya agak tinggi sehingga saya harus dirujuk ke rumah sakit. Saya dipersilahkan mengambil surat rujukan diruang administrasi untuk dibawa kerumah sakit. Soal administrasi, sekali lagi, disini tidak ada yang berlangsung lama padahal pasien disana cukup banyak. Mereka cukup efektif dan efisien. Paling lama cuma lima menit!.
Dari PUSKESMAS, saya segera ke Rumah Sakit Umum Rantauprapat sebagai rumah sakit rujukan. Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 10.45 WIB kerumunan orang di loket banyak sekali bahkan untuk berjalan saja susahnya minta ampun. Tidak tampak kenyamanan disini. Pengaturan antrian juga kacau balau walaupun menggunakan sistem loket terpisah untuk umum, askes dan askesda. Semuanya berkerumun tanpa aturan padahal mudah sekali bukan untuk membuat batas pemisah untuk antrian? Ah... Kasihan sekali saya melihat pasien yang sudah lanjut usia.
Di loket saya harus membayar uang administrasi dua ribu rupiah. Bayangkangkan saudara-saudara! Dua ribu rupiah untuk urusan admistrasi! Ingat, ini saya lagi di rumah sakit lho padahal di PUSKESMAS, semua urusan admistrasinya : GRATIS! Saya eja kan ya? G-R-A-T-I-S.
Selesai dari loket, saya harus ngantri lagi di loket ASKES. Tempatnya pojokan paling ujung, kecil dan pokoknya gak asyiklah. Apalagi petugasnya hanya dua orang. Silahkan bayangkan sendiri.
Untuk urusan antri mengantri saja, totalnya sudah makan waktu satu setengah jam. Plis deh, kalo ngantri tiket kereta api aja sih mungkin gak masalahkan? Ini kan yang ngantri orang SAKIT! Beda dong kalo lagi sehat. Dari sini saya ingat satu joke teman saya : itu sih derita lo!
Baiklah, kita lanjutin ceritanya....
Setelah semua urusan administrasi kelar, saya langsung menuju poliklinik gigi. Dengan langkah yang diberani-beranikan, saya memasuki ruangan itu. Tanpa tanya-tanya, lembaran medical record kosong rumah sakit langsung saja diambil petugas dari tangan saya kemudian diletakkan diatas meja.
"Tunggu dipanggil ya Pak" kata petugasnya tanpa melihat wajah saya yang melongo. Hey! I'm human, remember? jawab hati saya. Tapi okelah, saya nurut kok nunggu dibangku jelek warna putih itu.
Sekitar sepuluh menit, nama saya dipanggil. Segera saja saya nyelonong masuk. "Sepatunya dibuka pak!" teriak si petugas. Busyet! Kan bisa ngomong baik-baik lah, gak mesti teriak-teriak. Lagian saya jadi pegawai jelas bebas dari buta huruf lah jika saja diruangan itu ada tulisan "SEPATU HARAP DIBUKA" ya kan?
Berada diruangan praktek, ternyata mereka baru dapat kursi untuk perawatan gigi yang masih baru dan lebih canggih. Saya mulai merasakan keanehan sewaktu disuruh untuk duduk disitu. Kursi itu menggunakan sistem lampu sensor untuk penyalaannya serta pengisian air digital. Sesuatu yang sudah sangat biasa diklinik gigi saya yang biasa. Tapi disini mungkin karena masih baru, mereka masih terlihat kebingungan untuk menyalakan dan mematikannya. Tiba-tiba saja saya merasa seperti jadi korban eksperimen! Setelah sidokter dan perawatnya sudah mulai bisa mengoperasikan alat tersebut, saya diminta berkumur dan gigi saya dibersihkan dengan kompresor kecil.
Oya, dokternya laki-laki berperawakan besar sedangkan siperawat adalah seorang perempuan berjilbab.
Sedikit tanya jawabpun terjadi.
Dokter : kenapa giginya pak?
Saya : berlubang dokter.
Dokter : mau di apain? (lha? saya kok bingung ya mendengar pertanyaan ini dari seorang yang profesional?)
Saya : menurut dokter, pengobatan seperti apa yang harus saya dapatkan?
Dokter : Hmmm... Gigi yang atas gak bisa ditambal lagi. Harus dicabut. Kalo yang bawah masih bisa ditambal kok.
Saya : oke dokter, lakukan saja yang menurut dokter baik buat saya.
Kemudian dokter gigi itu menyebutkan istilah medis gigi pada perawatnya.
"Dia pakai ASKES, dok" kata perawat itu.
"Gak bisa ya kalo pakai ASKES?" tanya dokter itu balik.
"Tanya pasiennya dulu lah dok. Kalo pake ASKES kan gak di cover yang itu" jawab perawat itu.
"Pak, mau ditambal pakai amalgam atau sinar" tanya dokter itu pada saya.
"Yang baik yang mana ya dok?" balas saya.
"Yang amalgam itu warna hitam pak, itu yang ditanggung ASKES tapi kalo tidak, bapak dikenakan tarif 175ribu" tiba-tiba perawatnya menyela.
"Oh... Saya yang bayar ajalah" jawab saya biar agak nyaman. "Tapi yang pencabutan giginya ditanggung ASKESkan dok?" sambung saya.
"Iya." jawabnya singkat.
Kemudian saya ditinggal sendirian. Sekitar 15 menit mereka kembali lagi sambil ngobrol ini itu. Gak nyaman banget buat saya pada kondisi sebagai pasien sakit gigi dikursi pesakitan pula, dengerin orang ngobrol pasti gak nyaman bukan? Kemudian gigi saya yang bawah ditambal. Setelah selesai masih terasa agak ngilu sedit.
Setelah selesai penambalan gigi bawah, saatnya beraksi ke gigi atas.
"Anastesi!" perintah dokter itu pada perawatnya.
Dua suntikkan saya rasakan mendarat di gusi saya. Wah... Ada yang gak beres nih, suara hati saya. Gini saudara-saudara, meskipun saya gak ngerti soal medis tapi pengalaman saya setiap mengunjungi klinik gigi swasta, biasanya kondisi tubuh saya diperiksa dulu. Kalo gak salah sih dokter langganan saya bilangnya pra medikasi. Biasanya sih, cuma dilakukan pemeriksaan tekanan darah saja. Tapi disini kok agak beda ya? Tapi, badan saya kan masih demam. Kok gak diperhitungkan juga sih?
Oke, sampai disini saya masih bisa menenangkan diri. Mungkin prosedurnya agak berbeda kata hati saya menenangkan. Tapi... apa yang terjadi? Setelah sepuluh menit tiba-tiba saya merasakan sesak nafas, kepala saya menjadi pusing dan seluruh tubuh menjadi lemas. Untung saja reaksi saya segera dilihat dokter itu. Saya diminta menghirup kapas yang diberi cairan yang baunya seperti alkohol dan seluruh wajah saya diusap dengan kapas tadi. Waduh... Saya harus cepat-cepat meninggalkan rumah sakit ini sebelum segala sesuatunya terlambat batin saya.
"Kenapa lemas sekali?. Kamu tadi belum makan ya?" tanya dokter itu.
"Belum" jawab saya berbohong agar saya bisa lekas meninggalkan ruangan itu.
Untuk mengetahui seorang pasien itu lemas atau tidak bukankah sangat mudah dilakukan oleh orang medis sekelas perawat sekalipun bukan? Kan ada alat untuk mengukur tekanan darah untuk mengetahui tindakan medis lanjutan yang akan dilakukan. Jelas-jelas saya sakit gigi, pastilah tubuh saya demam dan lemas. Emangnya ada orang sakit gigi yang gak lemas?
"Oke, begini saja. Kamu datang lagi besok ya?" katanya.
"Baik Dok" jawab saya singkat. Tiba-tiba saya sedemikian ingin berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rumah sakit itu. Saya berdo'a dalam hati : Tuhan... Berilah bantuan peralatan di PUSKESMAS tempat saya tadi sebab saya lebih senang berada disana tanpa perasaan di diskriminasi karena saya menggunakan kartu ASKES.
Well... Saya akhirnya pulang dengan selamat sentosa dengan gusi yang masih terasa kebas akibat anestesi. Maaf ya dok, besok-besok saya gak mau ke tempat Anda lagi. Meskipun saya pengguna ASKES, saya bukan untuk eksperimen kok. Lebih baik saya kembali ke klinik langganan saya nanti setelah gajian bulan depan.
Begitulah pengalaman saya soal gigi geligi. Saya sangat berterima kasih sekali karena pada saat keuangan kritis, ASKES ada untuk membantu perawatan kesehatan saya. Once again, Terima kasih ASKES!